Sunday 29 November 2020

4 Karakteristik Manusia dalam al-Quran

 Karakteristik Manusia dalam al-Quran

Manusia adalah salah satu makhuk Allah SWT yang unik, ia bisa lebih mulia dari malaikat namun bisa lebih hina dari hewan. Dalam Alquran, manusia terkadang digambarkan sebagai makhluk yang mulia, hebat dan luar biasa. Namun, juga terkadang ia digambarkan sebagai  makhluk yang hina, sombong dan tidak tahu diri. Hal itu terjadi karena manusia tidak hanya dibekali akal, akan tetapi ia juga diberi nafsu. Sepanjang manusia bisa mengendalikan nafsu itu maka ia akan menjadi sosok makhluk yang paling mulia. Sebaliknya, ketika ia kalah dan diperbudak oleh nafsu maka sepanjang itu pula manusia akan menjadi makhluk yang paling hina dan bahkan lebih hina dari hewan.

Ada banyak sekali karakter manusia yang disinyalir dalam Alquran, baik karakter terpuji maupun karakter tercela. Berikut ini adalah sebagian karakter manusia yang dimuat dalam Alquran. Di antaranya sebagai berikut:

1.     Penanggung jawab

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk penanggung jawab atas amanah yang dibebankan Allah SWT kepadanya. Jika manusia menjaga amanah itu dengan baik maka ia akan dibalas dengan ganjaran yang setimpal. Sebaliknya, jika ia lalai dan mengabaikan amanah itu ia akan dihukum dengan hukuman yang berat. Mengenai amanah ini, Allah SWT berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 72 yang berbunyi:

إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا ٱلْإِنسَٰنُ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولً

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit dan bumi serta gunung, namun mereka semuanya menolak untuk memikulnya, dan mereka takut tidak misa menunaikannya, lalu manusialah yang memikulnya dan menanggungnya sekalipun dia lemah. Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan bodoh terhadap dirinya sendiri.

Dalam kitab Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibnu Katsir menampilkan pendapat para ulama terkait maksud kata "Amanah" yang dibebankan kepada manusia. Imam al-Aufi berkata bahwa yang dimaksud "amanah" dalam ayat di atas adalah ketaatan kepada Allah SWT. Sedangkan menurut Imam Ali bin Abi Thalhah kata amanah dalam ayat di atas adalah kewajiban-kewajiban.[1]

Terlepas dari hal itu, ayat di atas memberi pesan bahwa satu satunya makhluk yang mengemban amanah itu adalah manusia. Amanah untuk melakukan ketataan terhadap perintah dan menjahui segala apa yang dilarang. Dari sini dapat dipahami bahwa secara fitrah manusia memang penanggung jawab atas amanah itu. Ia akan mempertanggunh jawabkan segala apa yang ia kerjakan di hadapan Allah SWT sekecil apapun.[2]




2.     Lemah

Manusia adalah makhluk yang lemah. Lemah dalam arti tidak kuat menahan hawa nafsunya. Ia cenderung lebih mudah menjadi budak nafsu ketimbang budak akal. Allah AWT berfirmah dalam surat al-Nisa' ayat 28 yang berbunyi:

يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ ٱلْإِنسَٰنُ ضَعِيفًا

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.

Dalam kitab Tafsir Jalalain, yang dimaksud lemah dalam ayat di atas adalah tidak bisa menahan hawa nafsu terhadap perempuan dan kesenangan-kesenangan lainnya.[3]Artinya, manusia itu rentan terpedaya oleh rayuan setan sehingga terjerumus dalam kedurhakaan. Oleh karena itu, manusia sangat butuh terhadap pertolongan Allah SWT. Maka tidak heran jika dalam Islam Allah selalu mengajarkan ta'awudz kepada manusia untuk dibaca setiap saat. Sebab, ketika manusia menyadari bahwa ia lemah dan sedang berhdapan dengan musuh yang kuat (setan) maka ia akan meminta perlindungan kepada Dzat Yang Maha Kuat, yakni Allah SWT.

3.     Kufur Nikmat dan Tidak Tahu Diri

Ketika Allah SWT memberikan nikmat yang begitu melimpah pada manusia ia sering lupa diri dan tidak tahu berterima kasih. Allah SWT berfirman dalam surat Ibrahim ayat 34 yang berbunyi:

وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).

 

Saat memaparkan ayat ini, al- Razi menjelaskan bahwa manusia itu makhluk pelupa. Akibatnya, ketika diberikan nikmat oleh Allah SWT ia seringkali mengingkari dan lupa bersyukur kepada Dzat Sang Pemberi nikmat. Di samping itu, terlalu banyak nikmat yang telah Allah berikan sehingga cenderung membuay manusia lupa yanh berakibat kufur nikmat.[4]

4.     Fitrah beragama

Dari awal, manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki fitrah beragama (Islam). Allah SWT membekalinya kemampuan-kemampuan yang mampu mengantar ia pada kesimpulan harus bertauhid. Mengesakan Allah dan menyucikannya. Allah SWT berfirman dalam surat al-Rum ayat 30 yang berbunyi:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Thahir bin Asyur, salah satu mufassir terkemuka asal Tunisia mengurai ayat ini dengan lugas. Ia menegaskan bahwa manusia secara fitrah memang beragama. Artinya, Allah membekali manusia dengan kemampuan untuk mengalisa ciptaan-Nya. Sehingga, ia akan menyimpulkan eksistensi Tuhan melalu ciptaan-ciptaan itu. Allah menciptkan ajaran-ajaran manusia berkesesuaian dengan fitrah. Bahkan, andaikan manusia dan pikirannya dibiarkan sendiri, tidak diintervensi suatu keyakinan apapun maka ia pasti akan sampai pada satu kesimpulan tauhid (mengesakan Allah) dengan bekal fitrahnya.[5]

Selainempatkarakter di atas, masih  banyak karakter manusia yang disebutkan dalam Alquran, seperti dzalim, bodoh, pelupa dan lain sebagainya. Empat karakter itu hanya sebagian kecil dari karakter-karakter yang lain.

 



[1]IbnuKatsir, Tafsir al-Quran al-AdzimVol 6 (Riyadh: Dar al-Thayyibah, 1999), 488.

[2]Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Insan fi al-Quran (Kairo: Dar NahdlahMisr), 10.

[3]Jalaluddin al-SuyuthidanJalaluddin al-Mahalli, TafsirJalalain(Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), 83.

[4]Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-GhaibVol 5(Bairut: Dar al-Fikr), 357.

[5]Thahir bin Asyur, al-Tahrirwa al-TanwirVol 21 (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), 90.

Wednesday 29 July 2020

Latar Belakang Munculnya Berbagai Corak Tafsir

Apa yang melatar belakangi munculnya berbagai macam corak tafsir?

Pada dasarnya, kitab suci Alquran merupakan pedoman atau petunjuk bagi seluruh umat manusia sepanjang masa. Oleh karena itu, teks Alquran harus mampu berdialek dengan konteks yang terus berkembang dan terus berubah hari demi hari. Sehingga meniscayakan adanya ragam interpretasi demi mewujudkan slogan Shalihun likulli zamanin wa makanin. 

Seca global, ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya perbedaan-perbedaan penafsiran terhadap ayat Alquran, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi ragam Qiroah yang berjumlah tujuh (menurut pendapat yang masyhur), jens teks dan kandungan makna. Adapun faktor eksternal yang dapat memicu perbedaan tafsir adalah subjektifitas mufassir yang disebabkan perbedaan sosiol-kultural, bacaan, kemampuan berfikir, dugaan dan lain-lain. Di samping itu, persinggungan umat Islam dengan persia, romawi dan Barat juga merupaka faktor internal yang memicuk timbulnya ragam tafsir. Termasuk juga teologi dan sikap politik yang dianut oleh mufassir.

Latar Belakang Munculnya Berbagai Corak Tafsir


Sekedar contoh, untuk mengurai salah satu faktor eksternal di atas, adalah hasil interpretasi sekte syiah saat menafsirkan kata Ulil Amri dalam surat al-Nisa' ayat 59 yang berbunyi:
(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَطِیعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِیعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِی ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِی شَیۡءࣲ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِۚ ذَ ٰ⁠لِكَ خَیۡرࣱ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِیلًا)
[Surat An-Nisa' 59]

Menurut mereka, Ulil Amri dalam ayat di atas adalah Imam Ali dan para penerusnya. Interpretasi ini muncul karena memang dalam keyakinan mereka Ali bin Thalib adalah satu-satunya sahabat yang paling berhak mengganti Rasulullah pasca Beliau wafat karena telah mendapat wasiat. Abu Bakar, Umar dan Usman adalah perampas jabatan. Hal ini tentu berbanding balik dengan interpretasi para ulama Ahlussunnah wal jamaah yang mengatakan Ulil Amri dalam ayat di atas adalah para para Hukkam (Hakim) atau para ulama yang mengamalkan ilmunya. Interpretasi ini  disampaikan oleh al-Biqa'i dalam kitab Nadz al-Durar.

Dari sini, kita memahami bahwa teologi, lingkungan, bacaan, budaya dan lain sebagainya merupakan faktor eksternal yang melahirkan ragam interpretasi terhada ayat ayat Alquran.

Thursday 30 April 2020

Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir Falsafi


Sejarah Perkembangan Tafsir Falsafi
              Pada saat ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato.[1] Karena filsafat dianggap hal baru yang bisa mengeksplorasi pemikiran, mereka sangat menyukai model pemikiran semacam ini.
              Namun respon umat Islam tentu berbeda dalam menyikapi kemunculan corak ini. Sehingga terbagi dalam dua golongan. Golongan pertama menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut. Golongan ini tidak menyetujui tafsir falsafi karena beranggapan bahwa disiplin ilmu filsafat banyak bertentangan dengan akidah. Mereka menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan filsuf. Mereka menyerang faham-faham yang dikemukakan di dalamnya, membatalkan argumen-argumennya, dan mengharamkannya untuk dibaca. Di antara penentang keras parafilsuf dan filsafat adalah Ḥujjah al-Islām al-Imām Abū Ḥāmid al-Ghazālī yang mengarang sebuah kitab berujudul al-Irshād untuk menolak paham mereka.[2]

Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir Falsafi

              Golongan kedua adalah mereka yang mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha memadukan antara filsafat dan agama dan menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.[3]
              Selanjutnya, M. Husain Al-Dzahabi, menanggapi sikap golongan ini, berkata “Kami tidak pernah mendengar ada seseorang dari para filosof yang mengagung-agungkan filasafat, yang mengarang satu kitab tafsir al-Quran yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Quran yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka. Jadi, keberagaman sikap dalam penerimaan terhadap filsafat otomatis memberi pengaruh terhadap penerimaan terhadap penafsiran dari sudut pandang filosof ini. Selain itu, munculnya golongan memaksakan pemahaman ayat dengan teori filsafat membawa penafsiran al-Quran ke arah yang masih diragukan kebenarannya,sehingga sebagian ulama melarang penggunaan tafsir falsafi ini untuk dikonsumsi umat.[4]

              Walaupun begitu tafsir falsafi ini memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif dari tafsir ini yaitu usaha pengkajian secara filsafat, ajaran yang dapat dikonsumsi oleh cendikiawan, sekaligus memperlihatkan kebenaran ajaran Islam yang membawa akibat kepada semakin meneguhkan keimanan. Namun dari sisi negatifnya, yaitu ada celah kemungkinan pemaksaan ayat-ayat Alqur'an untuk dicocokkan dengan suatu teori atau aliran filsafat tertentu.[5]

Oleh: Nurul Fitriyana, S. Ag





[1]Jani Rani, Kelemahan-Kelemahan Dalam Manahij Al-Mufassirin, Jurnal Ushuluddin Vol. XVIII,  No. 2, Juli 2012, 176.
[2]Yuyun Zunairoh, Penafsiran Al-Quran... 123
[3]Jani Rani, Kelemahan-Kelemahan Dalam... 176
[4]Ibid., 176
[5]H. Muhammad Husin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Jurnal Darussalam Vol. 7,  No. 2, Juli-Desember 2008, 100.

Wednesday 25 December 2019

Filsafat Islam Bukan Copy Paste Filsafat Yunani, Begini Logikanya!

Filsafat Islam Bukan Copy Paste Filsafat Yunani, begini logikanya ! - asumsi yang menyatakan bahwa eksistensi filsafat Islam dalam penggung akademik merupakan copy-paste dari filsafat Yunani adalah asumsi yang tidak benar dan tidak memiliki dasar yang kokoh. Apa lagi mengatakan bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani yang dilakukan oleh Khalifah al-Makmun kala itu.

Untuk meniawab tudingan ini, ada beberapa poin penting yang harus dipahami sehingga tidak "Gagal paham" melukiskan filsafat Islam itu sendiri.

Filsafat Islam Bukan Copy Paste Filsafat Yunani, Begini Logikanya!

Pertama, berguru tidak berarti mengekor semata. Artinya, meskipun filsuf Muslim semisal al-Farabi berguru kepada Aristoteles tidak berarti al-Farabi meng Copy-paste pemikiran Aristoteles lalu diusung ke hadapan publik. Akan tetapi, al-Farabi juga memberikan gagasan baru yang tidak pernah terfikirkan oleh Aristoteles. Maka tidak heran jika al-Farabi diberi gelar Muallim al-Tsani (Guru kedua) karena ia memiliki kontribusi yang sangat besar dalam ilmu Filsafat.

Lebih simple lagi, ialah kasus relasi antara Imam Syafi'i dan Imam Malik. Meskipun Imam Syafi'i adalah murid daripada Imam Malik tidak berarti pemikiran al-Syafi'i menjiplak total pemikiran Imam Malik. Tapi justru sebaliknya, pemikiran al-Syafi'i banyak tidak sejalan dengan pemikiran Imam malik. Bahkan Imam As-Syafi'i mendirikan madzhab tersendiri yang gagasan-gagasannya banyak bertolak-belakang dengan Madzhab Maliki. Ini menunjukkan bahwa berguru tidak selalu berarti menjiplak.

Kedua, ide, gagasan dan pemikiran adalah hasil komunikasi sang tokoh dengan kondisi sosial, keyakinan dan pondasi keilmuan. Artinya, lahirnya sebuah gagasan tak dapat dipisahkan dari semua itu. Dan kita tahu bahwa Filsafat Islam dan Filsafat Yunani memiliki akar sosial budaya, keyakinan dan pondasi keilmuan yang berbeda dalam diri masing-masing  Tokoh. Sehingga, menyamakan dua gagasan yang lahir dari sosial-budaya, keyakinan, pondasi keilmuan yang berbeda adalah kecacatan dalam bernalar. Bagaimana tidak, Filsafat dalam Islam merupakan gagasan dari para tokoh Muslim. Sehingga nilai-nilai keislamanya akan selalu tampak dalam cara berfilsafatnya. Dan ciri ini tidak akan pernah ditemukan dalam Filsafat Yunani karena latarbelakang tokohnya berbeda.

Wednesday 18 December 2019

Model-Model Penulisan Kitab Sirah Nabawiyah

Model-Model penulisan kitab sirah nabawiyah- Jelaskan masing-masing model penulisan sirah yang ada selama selama ini, dan dari keberadaan sekian banyak khazanah intelektual penulisan sirah tersebut,  menurut Anda apakah perlu ada pemilahan untuk mendapatkan sirah yang otentik? 

Perkembangan keilmuan dari generasi ke generasi meniscayakan perbedaan model dalam penulisan ilmu, termasuk sirah nabawiyah. Perkembangan itu merupakan sunnatullah yang tak bisa dihindari, mengingat kebutuhan suatu era dengan era yang lain sangat berbeda sehingga suguhannya pun harus berbeda. 

Secara garis besar,  ada beberapa model yang digunakan para ulama untuk merekam sirah nabawiyah, di antaranya adalah model Ibnu Hisyam, seperti kitab al- sirah al-Nabawiyah karya Abu Hasan an-Nadwi. Ada juga ulama yang menfokuskan karyanya pada al-maghazi wa al-Siyar saja, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Abi Syaibah saat menulis kitab "Kitab al-Maghazi". Tidak hanya itu,  ada pula yang menulis dengan model al-Sirah wa al-Tarikh seperti kitab Tarikh Ali al-Barahin karya Imam Empat. Ada juga model al-Sirah al-Hadhoriyah al-Syamilah seperti kitab Muhammad al-Risalah wa al-Rasul  karya Nazmi Lupa. 

model penulisan kitab sirah nabawiyah

Pada era kontemporer ini, ada model penulisan yang berusaha menggali hukum Islam dengan menjadikan sirah nabawiyah sebagai acuan. Artinya, mereka menampilkan sirah nabawiyah untuk kemudian dijadikan payung hukum atas suatu kejadian dan tentunya masih menyesuaikan dengan Alquran dan hadis. Model semacam dipakai oleh Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam menulis kitab Fiqh al-Sirah. 

Adapun mengenai apakah perlu ada pemilahan untuk mendapatkan sirah yang otentik, menurut hemat penulis otentisitas data sejarah hanya bisa dibuktikan dengan metodologi al-Jarhu wa al-Ta'dil sebagaimana yang diberlakukan pada hadis. Sebab, ini berkaitan dengan data yang tidak bisa dinalar apalagi diangan-angan. Data benar-bebar bisa disebut otentik apabila disampaikan oleh mereka yang memiliki kredibilitas tinggi dalam keruhaniaanya (Islam, menjaga muru'ah, bukan pendusta, tidak fasik dan lain-lain)  serta kekuatan hafalan yang luar biasa, sehingga kemungkinan berdusta dan kesalahan hafalan apalagi pemalsuan data dirasa sangat minim sekali. Berbeda dengan cabang ilmu yang bisa dijangkau dengan nalar atas suatu teks seperti ilmu Fikih dan lain sebagainya. Hukum-hukumnya masih bisa dinalar oleh mereka yang hidup jauh dari wajah Islam awal. Tapi tidak dengan data sejarah. 

Tuesday 17 December 2019

Relevansi (Hubungan) Sirah Nabawiyah (Sejarah Nabi) dengan al-Quran dan Hadis

Relevansi (Hubungan) Sirah Nabawiyah dengan Al-Quran dan Hadis- Pada dasarnya,  sirah nabawiyah memiliki ikatan yang tak terpisahkan dengan studi Alquran dan hadis. Ketiga cabang ilmu ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan,  sehingga kurang pas jika para pengkaji tafsir atau hadis awam dalam hal sirah. Sebab, Eksistensi sirah nabawiyah berorientasi pada rekam jejak Rasulullah selaku juru bicara Tuhan dalam menyampaikan Alquran dan hadis kepada umat manusia, sehingga keberadaannya pun memiliki posisi penting yang tidak bisa diabaikan dalam memahami Alquran dan Hadis. 

Sepintas, Kitab sirah memiliki kemiripan dengan kitab hadis dari sisi konten. jika kita merujuk pada kitab-kitab hadis banyak ditemukan bab tersendiri yang membahas maghazi (peperangan) yang banyak juga diabadikan dalam kitab-kitab sirah bahkan ada kitab khusus.  Di samping itu,  banyak hadis yang terkesan menampilkan cerita-cerita layaknya kitab sejarah seperti halnya hadisul ifki dan kisah fathu makkah seperti yang tertera  dalam kitab Jami' al-Shahih. Relevansi sirah nabawiyah dengan studi Alquran dan Studi hadis semakin menguat ketika berbicara soal asbabun nuzul atau asbabul wurud.  Fungsi sirah (khususnya asbabul wurud) memberikan kontribusi besar bagi para sarjana Muslim ketika ada beberapa hadis yang secara literal terkesan kontradiktif.  Maka,  dalam kondisi ini sirah nabawiyah tampil menjadi hakim yang menengah-nengahi dengan menampilkan data mana hadis yang datang terlebih dahulu atau dalam konteks apa hadis itu disampaikan. Sehingga,  para pengkaji mampu membedakan mana yang nasikh dan mana yang masuk atau mana yang Am dan mana yang Khas dan seterusnya. Dengan begitu,  kesenjangan kedua hadis dapat dipertemukan lagi. 

Sirah Nabawi

Hal yang serupa juga dialami Alquran, di mana sirah nabawiyah (khususnya asbabun nuzul) dapat membantu para pengkaji dalam menemukan makna yang sesungguhnya dari kandungan Alquran.  Tanpa kehadiran sirah,  memperoleh kebenaran yang sesungguhnya dirasa absurd. Hal ini pernah dialami oleh Sahabat Urwah bin zubair yang keliru memahami surat al-Baqarah 158 hanya gara-gara tidak tahu Asbabun Nuzulnya, namun ditegor oleh Sayyidah Aisyah dengan menampilkan bukti sejarah (asbabun nuzul).  Dari sini,  sangat jelas bahwa relevansi ketiga cabang ilmu ini benar-benar tidak terpisahkan. 

Di samping itu,  referensi induk yang dipakai dalam penulisan sirah nabawiyah adalah Alquran dan Hadis. Khususnya kitab-kitab sirah yang ditulis pada generasi awal,  sedangkan sirah generasi selanjutnya merujuk pada sirah generasi awal dengan mengembangkan metodologi penulisan. Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa sirah nabawiyah butuh pada Alquran dan Hadis sebagai sumber primer dalam penulisan sedangkan studi Alquran dan Hadis butuh sirah nabawiyah untuk mengungkap asbabun nuzul atau asbabul wurud guna mendapatkan pemahaman yang utuh dan bisa dipertanggungjawabkan.

Wednesday 16 October 2019

2 Macam Pembagian Malu dan Dalil-Dalilnya

2 Macam Pembagian Malu dan Dalil-Dalilnya- Sifat malu adalah salah satu sifat yang di miliki oleh setiap insan khususnya ummat Islam, Dan sifat malu pada dasar nya adalah sifat yang terpuji, Hal ini sebagaimana di katakan oleh Al Imam Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari : 

 الحَياء: خُلُق يبعث صاحبه على اجتناب القبيح

"Malu adalah salah satu akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang tercela."

Ada sebuah hadist yang telah riwayatkan oleh Al Imam Muslim dari sahabat Abdulloh bin Umar Ra beliau berkata : 

 سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ الْحَيَاءُ مِنْ الْإِيمَانِ

Nabi Muhammad SAW telah mendengar seorang laki-laki menasihati saudaranya tentang sifat malu, maka beliau pun bersabda: "Malu itu adalah sebagian dari iman."

2 Macam Pembagian Malu dan Dalil-Dalilnya


  Dan malu itu terbagi menjadi 2 : 

1- Malu itu terpuji. 
2- Malu itu tercela.

Yang Pertama :

Malu itu terpuji adalah sifat malu dalam melakukan perbuatan perbuatan yang tidak terpuji seperti halnya dalam melakukan sesuatu yang di larang dalam syariat Islam. 

Dan sifat malu yang seperti ini adalah sifat malu yang bagian dari Iman, sebagaimana di dalam hadist Rosululloh SAW bersabda :

الإيمانُ بِضعٌ وستونَ شُعبةً ، والحَياءُ شُعبةٌ منَ الإيمانِ. رواه البخاري 

"Iman itu enam puluh sekian cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman”
HR. Imam Bukhori 

Sifat malu adalah ajaran para nabi nabi sebelum Nabi Muhammad SAW,sebagaimana di sampaikan dalam sebuah hadist : 

إن مما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى : إذا لم تستح فاصنع ما شئت. رواه البخاري 

"Sesungguhnya diantara hal yang sudah diketahui manusia yang merupakan perkataan para Nabi terdahulu adalah perkataan: ‘jika engkau tidak punya malu, lakukanlah sesukamu’'.
HR. Imam Bukhori 

Dalam hadist ini teramatlah jelas,bahwa ketika seseorang tidak memiliki sifat malu mereka layaknya seperti hewan tidak dapat membedakan (antara haq & bathil) dan tidak malu dalam melakukan sesuatu yang di larang oleh Alloh SWT. 

Rosululloh SAW menyampaikan dalam hadistnya yang telah diriwayatkan oleh Al Imam Bukhori & Imam Muslim dari Sahabat Imron bin Hushoinin Ra : 

الحياءُ لا يأتي إلَّا بخيرٍ. متفق عليه 

“Malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan”

Dan Sahabat Imran bin Hushain mengatakan akan sifat pemalu Rosululloh SAW : 

كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أشَدَّ حَياءً مِن العَذْراءِ في خِدْرِها

"Nabi Muhammad SAW adalah orang yang lebih pemalu daripada para gadis perawan dalam pingitannya”. 
HR. Imam Bukhori. 

Al Imam Fudhail bin Iyadh Ra mengatakan : 

خمسة من علامة الشقاء : قسوة القلب، وجمود العين، وقلة الحياء، والرغبة في الدنيا، وطول الأمل. 

"Ada lima tanda-tanda kesengsaraan: hati yang keras, mata yang sulit menangis (karena Allah), sedikit rasa malu, cinta kepada dunia dan panjang angan-angan."

Yang kedua :

Sifat malu itu terpuji, namun malu bisa menjadi tercela jika ia menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu agama atau melakukan sesuatu yang benar dan malu melakukan aktifitas   ibadah. 

Sebagaimana di katakan oleh Al Imam Mujahid di dalam kitab syarah hadist Shohih Bukhori : 

لا ينال العلم مستحى و لا مستكبر

“Tidaklah bisa mengambil ilmu orang yang malu dan sombong“

Bahkan ada salah satu Sahabat Nabi Muhammad SAW bertanya kepada beliau tentang berhubungan suami Isteri,sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Sayyidatuna Aisyah Ra : 

إن رجلًا سأل رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم عن الرجلِ يُجامِعُ أهلَه ثم يَكْسَلُ . هل عليهما الغُسْلُ ؟ وعائشةُ جالسةٌ . فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم إني لَأَفْعَلُ ذلك . أنا وهذه . ثم نغتسلُ

"Ada seorang lelaki bertanya kepada Rasululloh SAW tentang seorang yang lain, yang ia berjima’ dengan istrinya lalu mengeluarkan mani di luar (‘azl), “apakah ia wajib mandi?”, tanyanya. Ketika itu ‘Aisyah duduk di samping Rasulullah. Rasululloh SAW menjawab, ‘sungguh aku melakukan itu, aku dan wanita ini (‘Aisyah). Lalu kami mandi‘'.
HR. Imam Muslim

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ وَاْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَخَرُ

“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”
HR. Imam Hakim. 

Catatan dari Saya :

Tempatkalah rasa MALU mu itu dalam tempat yang semestinya, seperti MALU dalam melakukan kemaksiatan kepada Alloh SWT, bukan MALU dalam melakukan aktifitas yang terpuji terutama dalam melakukan aktifitas ibadah kepada Alloh SWT. 

Wallohul Mustaan 

Surabaya 15 Oktober 2019
Jam 23.10 WIB

Oleh: Ust. M. Zakaria Al Anshori 
Refrensi :

١- فتح الباري بشرح صحيح البخاري للامام ابن حجر العسقلاني. 
٢-المنهاج بشرح صحيح مسلم للامام النووي. 
٣-الجواهر الؤلؤية بشرح الأربعين النووية للامام محمد بن عبد الله الجرداني. 
٤-فقه السنة النبوية من العهود المحمدية للامام الشيخ أسعد محمد سعيد الصاغرجي. 
٥-المستدرك على الصحيحين للامام الحاكم

Saturday 5 October 2019

Curhatan K-Pop Lovers: Saat Wabah Negeri Gingseng Merambat dan Terelakkan

Aku adalah seorang muslimah yang polos dan taat, DULU. Sebelum seorang teman mengenalkanku pada dunia lain yang ku anggap sangat indah. Sekarang aku telah bertransformasi menjadi seorang hipster pecinta Korea atau yang populer disebut K-POP Lovers. Pesona Negeri Gingseng itu sangat menyilaukan mataku, Hingga suatu hari aku menyadari suatu perubahan terjadi pada diriku.
Kini,
Hijrah dari Kpop

Tak ada lagi Qur’an untuk dibaca melainkan novel korea yang selalu dibawa kemana-mana.

Tak ada lagi surat/ayat untuk dihafal melainkan lagu korea yang tanpa sadari sudah ku hafal. 

Tak ada lagi dzikir untuk senantiasa diucapkan melainkan lagu korea yang selalu asyik untuk didendangkan.
Tak ada lagi ilmu untuk dibahas melainkan Dra-kor yang tak ada habisnya untuk diperbincangkan.

Tak ada lagi tasbih yang terucap saat melihat kebaikan melainkan kalimat “Daebak” yang telah spontan ku ucapkan.
Tak ada lagi Masya Allah saat meliihat keburukan melainkan kalimat “Aigoo” yang selau terlebih dahulu kuucapkan.
Aku Tak lagi sabar duduk berlama-lama diatas sajadah, tapi pergantian siang dan malam terlalu cepat untukku menghabiskan semua episode drama koreaku.

Salat terasa sangat enggan untuk dilakukan, melelahkan, tapi untuk dance korea dari gaya Beng-beng, Fire Hingga gaya tebaru G-Friend aku sangat bersemangat untuk melakukannya dan sama sekali tidak melelahkan.
Mata ini terlalu mengantuk untuk belajar tapi mata ini sangat tak rela untuk berkedip dan meninggalkan satu kata pun dalam plot film Korea.

Tahun ini aku sama sekali belum khatam Al-Qur’an, Tapi kurang lebih 8/9 Novel Korea sudah habis aku khatamkan.
Aku tak menganal siapa Khalid Bin Walid , Amru Bin ‘Ash ataupun Hafsah Binti Umar Tapi untuk Ji Chang Wook, Lee Min Hoo dan Yoona, jangankan siapa mereka, aktivitas mereka sekarang hingga tanggal lahir mreka pun aku tahu.

Aku juga tak tau tentang kisah-kisah 
peradaban islam, penulisan pertama Al-Qur’an, penaklukan mesir, ataupun kejayaan Harun Arrasyid aku tak tau, Tapi untuk Dra-kor, Tanyakan padaku apa yang ingin kau ketahui tentangnya.
Iman terasa semakin berkurang sedangkan kecintaan pada dunia semakiin bertambah, akankah terus begini ???

Lagu-lagu korea itu selalu aku dendangkan, hal-hal yang bersangkutan dengan semua itu juga selalu mengitari pikiranku, Hati ini sudah terlalu mencintainya. 

Suatu hari aku sedang mendengarkan lagu korea, lisan ini turut menyanyikannya, seketika aku berfikir, jika saat itu nafasku berhenti berhembus , akankah kalimat yang terakhir kuucap dan kudengar adalah “sarangheo” dan bukan “Laa Ilaaha Illa Allah” ???

Lalu kesaksian apakah yang akan diberikan raga ini? Akankah ia mengaku bahwa pemiliknya tak menggunakannya sebagaimana mestinya?  Apakah lisan akan bersaksi bahwa ia sangat hobi bernyanyi lagu korea? apakah telinga akan bersaksi bahwa ia selalu mendengar lagu korea? dan apakah mata akan bersaksi bahwa ia selau menonton film korea pagi dan malam? dan apakah hati akan bersaksi bahwa ia tak lagi mencintai tuhan dan rasulnya dengan sempurna? Apakah semua ini telah menyimpang dari alasan dan tujuan utama sebuah penciptaan? Bukankah aku diciptakan tidak lain hanya untuk beribadah? Bagaimana jika aku mati dan menyesalinya sebelum aku bertobat? 

Kawan... untuk berubah memanglah sukar dan tidak mudah, terlebih lagi jika kita sudah terlalu jauh melangkah. Namun akankah kita membiarkan semuanya dan enggan untuk berubah? apakah kiita lupa atau pura-pura lupa akan tujuan utama adanya kita disini? Allah telah berfirman dalam Qur’an bahwasanya “Tidaklah jin dan manusia diciptakan melainkan hanya untuk ibadah”. itulah tujuan utama keberadaan kita disini. Kematian adalah hal yang pasti dan tak akan ada yang bisa menghindarinya. Bagaimana jika ia datang sedangkan kita belum sampai pada tujuan hidup ini? Kematian bukanlah hal yang bisa ditunda atau sebaliknya, karna itu sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa berbuat baik agar manakala kematian datang menghampiri kita, kita telah siap dan mengakhiri hidup ini dengan senyuman kebahagian bukan tangis penyesalan. 



-Hwd, 28 Feb 18-