Thursday 30 April 2020

Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir Falsafi


Sejarah Perkembangan Tafsir Falsafi
              Pada saat ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato.[1] Karena filsafat dianggap hal baru yang bisa mengeksplorasi pemikiran, mereka sangat menyukai model pemikiran semacam ini.
              Namun respon umat Islam tentu berbeda dalam menyikapi kemunculan corak ini. Sehingga terbagi dalam dua golongan. Golongan pertama menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut. Golongan ini tidak menyetujui tafsir falsafi karena beranggapan bahwa disiplin ilmu filsafat banyak bertentangan dengan akidah. Mereka menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan filsuf. Mereka menyerang faham-faham yang dikemukakan di dalamnya, membatalkan argumen-argumennya, dan mengharamkannya untuk dibaca. Di antara penentang keras parafilsuf dan filsafat adalah Ḥujjah al-Islām al-Imām Abū Ḥāmid al-Ghazālī yang mengarang sebuah kitab berujudul al-Irshād untuk menolak paham mereka.[2]

Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir Falsafi

              Golongan kedua adalah mereka yang mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha memadukan antara filsafat dan agama dan menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.[3]
              Selanjutnya, M. Husain Al-Dzahabi, menanggapi sikap golongan ini, berkata “Kami tidak pernah mendengar ada seseorang dari para filosof yang mengagung-agungkan filasafat, yang mengarang satu kitab tafsir al-Quran yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Quran yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka. Jadi, keberagaman sikap dalam penerimaan terhadap filsafat otomatis memberi pengaruh terhadap penerimaan terhadap penafsiran dari sudut pandang filosof ini. Selain itu, munculnya golongan memaksakan pemahaman ayat dengan teori filsafat membawa penafsiran al-Quran ke arah yang masih diragukan kebenarannya,sehingga sebagian ulama melarang penggunaan tafsir falsafi ini untuk dikonsumsi umat.[4]

              Walaupun begitu tafsir falsafi ini memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif dari tafsir ini yaitu usaha pengkajian secara filsafat, ajaran yang dapat dikonsumsi oleh cendikiawan, sekaligus memperlihatkan kebenaran ajaran Islam yang membawa akibat kepada semakin meneguhkan keimanan. Namun dari sisi negatifnya, yaitu ada celah kemungkinan pemaksaan ayat-ayat Alqur'an untuk dicocokkan dengan suatu teori atau aliran filsafat tertentu.[5]

Oleh: Nurul Fitriyana, S. Ag





[1]Jani Rani, Kelemahan-Kelemahan Dalam Manahij Al-Mufassirin, Jurnal Ushuluddin Vol. XVIII,  No. 2, Juli 2012, 176.
[2]Yuyun Zunairoh, Penafsiran Al-Quran... 123
[3]Jani Rani, Kelemahan-Kelemahan Dalam... 176
[4]Ibid., 176
[5]H. Muhammad Husin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Jurnal Darussalam Vol. 7,  No. 2, Juli-Desember 2008, 100.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon